Rasanya Baru Kemarin.......
Rasanya baru kemarin….
Perutku membuncit bukan lantaran nggragas menggasak berbagai makanan yang tersaji.
Tapi, karena ada seonggok nyawa manusia di sana. Dan itu
adalah kamu.
Rasanya baru kemarin….
Kakiku bengkak tak karuan, lantaran kudu menopang beban bodi
yang kian menggelembung.
Rasa tak nyaman saat tidur. Miring ke kanan, miring ke
kiri….
Stretchmark yang
lumayang genggeus…
Rasanya baru kemarin….
Air Ketuban pecah, jeritan membuncah….
Genangan darah di mana-mana…
Nyeri tak terperi…. Kasur tempat bersalin yang jadi tak
karuan lantaran kusepak kesana-kemari…
Rasanya baru kemarin….
Tangismu meredakan lelahku. Sungguh, kontraksi hebat sekian
detik yang lalu lenyap tak berbekas.
Berganti kelegaan yang sulit dijelaskan. “Laki, Bu, selamat!
Niiih, ibumu…. Niiih, utimu….” Suara dokter memecahkan keharuan.
Rasanya baru kemarin….
Aku harus berjuang untuk menyuplai ASI untukmu. Uti Fat—yah,
utimu yang luar biasa tangguh itu—cari daun katuk, kacang tanah, bayam, susu,
bahkan softdrink, yang dengan segala doa dan upayanya dijejalkan ke mulutku,
“Harus ditelan! Harus habis! Biar ASI-nya keluar!”
Rasanya baru kemarin…..
Anyir darah nifas, dipadu bau ompol dan gumoh-mu… Sungguh, kombinasi yang semestinya menerbitkan rasa
jijik. Tapi, demi melihat mata beningmu yang begitu syahdu, maka yang ada hanya
cinta. Tak bersyarat.
Dan aku harus terbang meninggalkanmu. Meraup ego-egoku.
Mengepakkan sayapku. “Ingin jadi wanita dengan karir cemerlang. I’m independent woman!” Ambisiku
mengangkasa. ”Kebirilah semua rasa rindu pada dia! Buang jauh-jauh!” Seperti
aku menyedot ASI-ku dalam nyeri, lalu kubuang ke wastafel. Ahhh, itu zat
gizimu! Semena-mena sekali aku membuangnya!
Rasanya baru kemarin….
Dada ini sesak oleh airmata. “Tentu ada alasan, mengapa aku
yang dititipi makhluk itu. Aku yang mengandungnya, melahirkannya, dan
seharusnya aku juga yang memberikan ASI untuk dia!”
Dalam helaan napas yang tak lagi pantas, aku menuding diri
yang tak becus menjadi khalifah di muka bumi. “Minimal, gue harus jadi ibu yang
baik. Yang memberikan ASI untuk bayinya. Yang memandikan dia setiap pagi-sore.
Yang meninabobokan ia. Yang membelai lembut rambutnya, membisikkan doa-doa
penuh harap, mengajaknya bersendagurau dengan alam, mengajarinya tauhid,
berkenalan dengan ciptaan Yang Maha Agung, menitahnya, menciwel pipinya yang
gembul, menyuapi makanan pertamanya, mencebokinya, memandang bening matanya….”
Rasanya baru kemarin…..
Entah kerasukan dari mana, aku putuskan untuk akhiri episode
perjalanan hidup penuh ambisi. Sirkumsisi semua kebutuhan karir dan pendewaan
akan uang yang terasa begitu semu. Oh
yeah, I have lot of money, I have travelled around Indonesia, I have fun,
friends, fantastic episodes of life… Dan, atas nama cinta pada si mata
bening itu, aku harus berucap ‘hasta la vista’ pada itu semua?
Rasanya baru kemarin…..
Dia tumbuh jadi bocah yang sungguh-luar-biasa-baik. Tak satu
kalipun, kudengar celoteh kalimat berbau nakal dari bibir mungilnya. Ia
penurut. Subuh, bangun, lalu bersama ke masjid. Ia mengobrak-abrik egoku.
Bahwa, seorang ibu, sungguh, harus bisa jadi ‘madrasah pertama’ untuk anaknya,
bukannya minta diajari oleh sang anak. Sosoknya jauh lebih ‘dewasa’ ketimbang
saya. Nrimo, penurut, sopan, tak
membangkang, tanpa-prasangka, suci.
Rasanya baru kemarin…..
Dan kini, ia menjelma menjadi ‘bocah berbeda’. Sangat
transformatif. Tiap saat, ia menudingku penuh prasangka, “Ibu bohong kan?” Bila
apa yang dia mau tak dapat kupenuhi, maka ia menjelma menjadi
‘entah-apa-sebutannya’ yang memberondongku dengan terror tak perlu. ”AKU MARAH!
Aku banting semua barang di rumah ini!” Ia mengeluarkan kata-kata yang hanya
kudengar dari sinetron picisan di TV. Ia lontarkan diksi-diksi tak pantas,
laksana tembakan meriam confetti. Sungguh, ia bukan bocah yang biasanya aku
kenal….
“Kamu kenapa Dik?”
“Aku marah!”
Oh, mungkin, ia pantas marah, karena punya seonggok ibu yang
belum menyediakan sebongkah cinta tulus untuknya. Mungkin ia berhak marah,
karena ibunya justru bukanlah sosok panutan yang sanggup menjadikan hidupnya
tahu arah. Mungkin ia berhak marah, karena, dulu, ibunyalah yang mengajarkan
bagaimana cara untuk menjadi marah.
Rasanya baru kemariin…..
Sungguh.
Rasanya sungguh-sungguh baru kemarin…
Aku mengandung dia.
Melahirkan dia.
Menyusui dia.
Meninggalkan dia.
Merindukan dia.
Melupakan dia.
Kemudian, mengingat dan membuktikan betapa aku selalu punya
cinta dan maaf untuk dia.
Sidqi-ku.
Hari ini, kau 6 tahun.
Jadilah anak shalih, meskipun ibumu belum menjadi bagian
dari orangtua shalih.
Jadilah anak yang baik, walau ibumu selalu tertatih-tatih
untuk jadi manusia yang lebih baik.
Cintailah Allah, niscaya cinta-NYA selalu bersemi dalam
hidup dan akhir hayatmu.
Selamat milad ya
Nak.
*dari seorang ibu yang terus-menerus berusaha to be a better mom
*tulisan ini dibuat menjelang 16 Oktober 2012, ketika Sidqi berusia 6 tahun*
Komentar
Posting Komentar