Gadis Bermata Cokelat
Gadis
Bermata Cokelat
Hai
kamu.
Ya,
kamu.
Gadis
selembut salju, dengan mata cokelat yang begitu memikat.
Barangkali,
malaikat selalu merubungimu tiap waktu.
Mereka
berpadu, merapalkan doa demi doa, agar wajahmu selalu indah dipandang mata.
Tak
pernah bosan menyaksikan mata indah itu.
Yang
cokelat. Dan amat memikat.
“Surat dari siapa ini?!?!”
Melati mengacung-acungkan selembar kertas di
tangannya. ”Ini ada puisi di laci gue. Surat siapa ini, hayooo… ngaku!!”
“Mana… manaa…. Liaat......”
Kelas mendadak begitu gaduh. Semua gadis
berjejal di bangku Melati. Yang cowok kepo dari bangku masing-masing. Hmm,
jangan coba-coba deketin Melati. Tuh bocah, bener-bener “anti” dideketin ama
cowok, dengan modus apapun. Hijabnya menjuntai lebar. Tapi, ia tak segan-segan
meng-kick out cowok yang berani usil
ama dia. Maklum, Melati pegang sabuk hitam karate. Ngeri!
“Wohoooo…. Romantis amat puisinya…”
“Mau
dooong, dibikinin puisi kayak Melati…”
“Oh, Melati, this is your secret admirer, darling…”
“Eaaaa…. “
Dan, sejurus kemudian, para gadis koor
menyanyikan Secret Admirer-nya Mocca.
Oh,
secret admirer…. When you're around the autumn feels like summer
How
come you're always messing up the weather? Just like you do to me....
My
silly admirer, How come you never send me bouquet of flowers?
It's
whole lot better than disturbing my slumber
If
you keep knocking at my door
Hmm… secret
admirer. Penggemar rahasia. Ternyata, ada cowok yang diam-diam menaruh
atensi pada Melati. Sampai menyebutnya “gadis bermata cokelar” segala. Tatkala Secret Admirer dilantunkan, cowok dengan
tampang ala Iko Uwais itu, menunduk gelisah. Masih curi-curi pandang ke arah
gadis bermata cokelat. Tapi, degup jantungnya begitu kencang. Terlebih, ketika
tanpa sengaja, matanya bersirobok dengan tatapan si mata cokelat yang begitu
tajam.
Melati, masih dengan gaya “sok galak”-nya,
menepis kesal, “Apaan sih?! Norak, tau!!”
Meski begitu, pipinya bersemu merah jambu.
***
Wahai
gadis bermata cokelat
Aku
tahu
Hadirku
mengganggumu.
Tapi,
aku menikmati setiap waktu.
Tatkala
mata cokelatmu berbinar. Melotot. Mendelik. Melirik kesal.
Seolah
waktu berjalan begitu sempurna.
Ketika
kau lontarkan semua opini dan argumentasi
Kau
begitu syahdu.
Mata
cokelat. Penuh daya pikat
“ihiiirrrr…. Dapat surat dari secret admirer lagi nih yeee….”
Melati mendengus kesal. “Dikira seneng apa,
gue dapat surat kayak beginian. Norak!”
Thussy, teman sebangku Melati, tergelak.
“Ya, lo jawab dong, surat-suratnya. Lo sampein ke dia, kalo lo kagak suka
diperlakukan seperti ini.”
“Gimana caranya? Gue kan kagak tau si
pengirim surat ini siapa?”
“Doooh, Melati…. Kuper amat sih, jadi
bocah? Si secret admirer-mu ini kan
selalu kasih surat di laci mejamu. Berarti kalo kamu naruh surat jawaban di
laci mejamu, otomatis, dia bisa ambil, lalu dia baca kan?”
“o iya, ya.”
***
Hai
laki-laki yang (kurang) gentleman, karena cuma berani kirim surat kaleng, hehe.
Maap
ya, gue gak tahu lo siapa. Dan gue juga masih banyak urusan, sehingga gak
sempat nyewa detektif partikelir buat kepoin lo. Intinya gini deh. Gue nggak
tau musti gimana ngerespon surat lo itu. Haduh, maapin surat gue yang amburadul
ini. Karena, terus terang, lo tuh satu-satunya cowok yang berani nulis
kekaguman lo. Yang lain, ya mungkin sih, kagum ama gue, kagum ama kegalakan
gue, lebih tepatnya. Hehe. Tapi, mereka cuma diam aja, dan lo sudah ngelakuin
satu hal, yaitu nulis surat. Walopun elo masih pengecut juga, karena gak berani
kasih langsung ke gue. Ya kan?
Oke,
intinya begini. Pertama, makasih karena lo udah ngasih tahu kalo mata gue
berwarna cokelat. Walopun gak penting banget, karena gue kan udah tahu, secara
gue yang punya nih mata, bukan? Kedua, gue mau bilang, bahwa lo musti belajar
lagi soal ghodul bashor alias menundukkan pandangan. Lo cowok, gue cewek.
Mestinya, lo jangan ngeliat gue sampe segitunya, kaleee.. Kita ini bukan
mahram. Jaga aurat masing-masing. Jaga iman masing-masing. Apalagi, kita kan
masih pelajar. Ya kudu belajar +beribadah + beroganisasi. Kalopun lo ada minat
jadi sastrawan, ya lo kirim naskah aja ke pengurus mading. Jangan kirim surat
kaleng ke gue. Got it?
***
“Doh! Udah gue bilang jangan kirim surat,
kok dia kirim-kirim lagi siiih?!?! Arrrghh!”
“Lo kenapa sih? Pagi-pagi udah sutris?”
“Liat nih!”
Duhai
gadis bermata cokelat,
Pendar
bintang seolah tengah berpijar di wajahku
Elok
kurasa, menikmati penggalan kata yang kau-urai menjadi surat balasan
Terima
kasih, sudah meluangkan waktu, membalas pesanku
Terima
kasih, sudah mengguyurku dengan secercah nasihat
Bahwa,
aku harus menundukkan pandangan?
Oh
Bagaimana
mungkin, aku tak terpesona, kala saksikan kilatan mata berwarna cokelat?
Mata
itu, seolah memintaku untuk memandangnya lekat-lekat.
Maaf
Aku
tak bisa mengelak, bahwa mata cokelatmu itu, yang membuat langkahku ke sekolah
selalu dikibari semangat.
Maaf
Barangkali
mata cokelat itu bakal membuat aku kian nekat
Untuk
menunjukkan, betapa rasa dalam dada ini semakin membulat
***
Eh,
cowok kaleng!
Lo
beneran kagak ada kapoknya ye.
Udah
gue bilang, gue ga suka hal menye-menye kayak yang lo lakuin ini! Gue tuh, udah
bertekad buat ngejalanin masa remaja TANPA PACARAN! Udah banyak noh, bukti
kemudharatan pacaran. Ada yang galau melulu, gara-gara inget pacarnya. Kayak lo
tuh! Kan udah gue saranin, supaya lo kirimin naskah ke mading. Jangan ke laci
gue! Gue gak mau, konsentrasi belajar gue keganggu. Gue gak mau, ibadah gue,
aktivitas organisasi gue, semuanya jadi amburadul gara-gara ngurusin pacaran.
Pokoknya, gue kagak tertarik! Gue mohon, HENTIKAN surat-surat lo ini. Daripada
lo bikin puisi galau-galauan gini, lo coba deh, buka Al-Qur’an. Pelajari
tafsirnya. Tambah hapalan surat lo. Itu jauh lebih produktif. Ntar, kalo lo
udah hapal 30 juz, lo datang deh, ke emak-bokap gue. Kalo lo masih ada hati ama
gue, lamar gue langsung ke ortu! Jangan main pengecut kayak gini. Grrrrhhhh *emosi
mode on*
***
Melati.
Entah
mengapa, semakin galak, kau semakin menebar aura penuh pesona.
Justru,
cantikmu menganga, ketika kegalakanmu menggejala.
Kubayangkan,
mata cokelatmu yang berpadu indah.
Kala
menorehkan aksara demi aksara, yang membuat jiwaku nelangsa.
Oh,
gadis bermata cokelat.
Salahkah
bila kedua binar matamu senantiasa membuatku terpikat?
***
Ya
jelas salah, dodooooollll!
Ini
kenapa sih, kok kita malah surat-suratan gini? Sekarang tuh jamannya whats app,
line, kakao talk. Lo jadul abis deh. Gini ya. Gue kan udah jelasin di
surat-surat sebelumnya, kalo gue sama sekali gak minat pacaran. Gue ogah
ngelakuin perbuatan yang beda-beda tipis ama zina. Jadi, gue mohon, plis,
jangan pancing-pancing gue dengan cara seperti ini. Kalopun lo jatuh cinta ama
gue, ya tolong, manage perasaan lo itu. Jangan bombardir gue dengan surat
beginian. Coba ya, lo udah pernah baca Quran belum? Noh, belum kan?? Pantesan,
lo galau melulu. Kalo lo kagak tahu tafsirnya, lo datang dong, di Kajian Tafsir
Al-Quran di mushola sekolah. Atau lo dateng aja, ke Kajian Riyadhus Sholihin
tiap Sabtu jam 8 pagi, di Nurul Hayat. Ntar lo bisa perbaiki diri jadi muslim
yang lebih baik. Kagak galau melulu.
***
Sabtu, jam 8 pagi, di Hall An-Nuur, Nurul
Hayat.
Si “Iko Uwais” tampak ragu. Antara
melangkahkan kaki ke kajian. Atau hanya berhenti sampai parkiran. Tapi surat
“si mata cokelat” yang ia terima kemarin, betul-betul menjadi sarana pertobatan
dirinya. Selama ini, ia kerap menutup diri. Ogah membuka kitab. Tak mau
berakrab-akrab dengan firman Yang Maha Kuasa.
Laki-laki itu membatin, ”Barangkali, si
mata cokelat adalah satu jalan yang dibentangkan Allah, agar aku mau kembali belajar
Islam. Selama ini, aku terperdaya dengan fantasiku sendiri. Bahwa aku bisa
menggapai semua yang aku mau, bila aku berusaha dengan kuat. Aku kerap terpukau
dengan kecerdasan. Aku kerap mengagumi diri sendiri yang bisa meraih ranking 1
dengan mudah, jadi jagoan basket tanpa susah payah. Tapi, aku menjadi ciut
ketika harus berhadapan dengan si mata cokelat. Mestinya, aku juga bisa
merendahkan diri dan hatiku di hadapan Allah. Bismillah, insyaAllah kuikhlaskan
diri untuk menggali ilmu Islam di jalan-Nya….”
Hari itu, “Iko Uwais” ingin menjadi muslim
yang baru. Yang hanya menyerahkan segenap asa pada Sang Penggenggam Semesta.
Baginya, si mata cokelat hanya cerita lalu. Ia harus bisa menyemangati diri,
agar bertransformasi menjadi pribadi muslim yang kian kaffah.
***
Komentar
Posting Komentar