Liburan itu sebenarnya ada di hati.
Liburan itu sebenarnya ada di hati. Meski fisik berada di tempat yang indah atau yang memanjakan dengan kesenangan…. tetapi hati masih sempit atau kita tak mampu berdamai dengan diri, itu namanya belum liburan. Liburan itu sejatinya membebaskan jiwa dan raga dari belenggu pikiran dan hati yang sempit hanya memikirkan kesenangan yang kasat mata dan sesaat. (Kartina Ika Sari)
Facebook saya hari ini memunculkan kenangan sebuah status
mbak Kartina Ika Sari yang ia tulis setahun lalu. Hak jleeeb bener nih
postingannya 🙂 Emberrr, terkadang kita
memang ngerasa “fakir piknik” “haus liburan” apalah apalah.. tapi kalau hati
belum bisa adem, rasanya percuma saja ya, sudah buang-buang duit, waktu, tenaga
buat liburan.
Yep. Inti liburan itu memang ada di hati. Saya pernah
merasakan hal serupa. Berlibur dengan fasilitas super duper mumpuni, tapi
ternyata kalbu saya tetap kerontang. Liburan tak menemukan faedahnya.
Beda ketika kita nawaitu liburan untuk membersihkan jiwa.
Biarpun pakai metode flashpacking (alias liburan cepet semi backpacking) saya
tetap merasakan indahnya hawa vacation, karena memang saya liburan “pakai
hati”. Mau tahu ceritanya? Okai, saya coba flashback ke memori setahun silam
yah.
***
Waktu itu Hari Raya, tapi saya tak bisa pulang ke kampung
halaman di Pacitan. Kenapa? Karena ipar-ipar saya pada kumpul di Surabaya,
sehingga rasanya nggak enak atilah kalo harus meninggalkan mereka. Padahal,
jiwa saya amat sangat rindu deburan ombak pantai dan semilir angin segar khas
Pacitan.
Begitulah. Surabaya seolah menjadi jeruji yang menjebak saya
dalam rutinitas aduhai amat-sangat-membosankan. Saya terpaksa mengebiri semua
asa untuk bisa pulang kampung. Sehari-hari berkutat dengan rutinitas yang
menjemukan di Surabaya. Hari Raya, juga tetap terkungkung di sini. Sementara,
keluarga besar (dari pihak Ibu) sudah berkirim foto-foto keluarga di berbagai
media sosial. Arrrghhh…!!
Hingga kemudian, hari itu tiba.
Ketika pekan Lebaran sudah berakhir…. kemudian
saudara-saudara suami pulang ke rumah masing-masing, ada sesuatu yang
menggelegak dalam dada. Meluap-luapkan kegembiraan, sebuah aroma kebebasan siap
terhempas ke udara…YAYYY!! EUREKA!! Ini saatnya pulang kampung ke Pacitan!
***
Tidak pernah sebahagia ini. Saya memang kerap pergi ke
Pacitan. Tapi, perjalanan kali ini luar biasa berbeda. Saya pulang ke Pacitan,
setelah berhasil melampaui sebuah periode super-duper-membosankan di bumi
Surabaya. Ini adalah pulang kampung yang sarat makna. Seolah saya telah
terlepas dari belenggu dan siap bersorak gembira, “AKHIRNYAAAA, saya piknik
juga!”
Ini berimbas pada kesehatan jiwa. Apalagi, saudara di
Pacitan mengajak kami beranjangsana ke Pantai Klayar. Yap, that famous beach.
klayar-3
Lebih ajaib lagi, karena piknik yang kami lakoni bertiga
–aku, Sidqi, dan ibuku– terbilang lumayan impulsif. Langsung memutuskan untuk
bawa ransel, isi dengan baju secukupnya, lalu cussss… kita naik bus menuju Pacitan!
Bener-bener backpacker ala-ala 🙂
Dan, ternyata… yang namanya piknik impulsif itu… sungguh
memberikan kenangan yang amat berharga. Sampai detik ini, saya masih ingat
letupan-letupan “ngeri-ngeri sedap” manakala kita memutuskan untuk pergi ke
Pacitan. Padahal, perjalanan ngebolang itu sudah kami lakukan pada Rabu, 22
July 2015.
“Duh, kalo ntar jalanan macet parah karena arus balik,
gimana ya?”
Yep, kami memang baru mudik ketika orang lain sudah
menjalani arus balik. Bener-bener anti-mainstream. Hahahahaaa.
***
Selain ke pantai, bulek (tante) saya di Pacitan melontarkan
ide yang amat brilian.
“Mumpung lagi di sini, itu Sidqi mbok ya diajarin renang!
Panggilkan guru les privat renang, trus latihan intensif di kolam renang di
Pacitan.”
Jadilah. Liburan yang serba mendadak, impulsif, dan sama
sekali nggak terencana ini, malah memberikan impact yang luar biasa.
Sidqi –hanya dalam rentang empat hari les renang intensif–
Alhamdulillah, sudah menguasai renang dengan gaya dada dan bebas.
Sementara saya? Alhamdulillah… Segala nyeri, sebal, judeg,
stres, yang bercampur dan siap pecah di ubun-ubun.. semuanya lenyaaaap… sirna
tak berbekas.
Saya bersyukur, diberikan kesempatan untuk bisa traveling
dalam rentang waktu sesingkat ini, namun amatlah impresif. Sungguh tak
habis-habis rasa syukur saya. Bagaimana dengan cerita liburan Anda?
Komentar
Posting Komentar