Tentang Resign
Seorang sahabat (sebut saja mbak M) bakal resign dari kantor. Sebenarnya,jauh di lubuk hati, mbak M ini enggakpengin resign. Doi masih betah berkutat dengan segala macam printilan kerjaan. Tapi,karena ada bayi cantik bin imut yang (menurut ibu mertuanya) butuh sentuhan seorang ibunda setiap saat, apa boleh buat, mbak M harus mengalah.
Job vs motherhood.Aktualisasi vs menjadi ibu yang stand by 24 jam.
Getir memang. Tapi, karena sahabat saya ini tipikal menantu yang baiiiiik banget, ya sudah, dia memutuskan untuk ciao sama kerjaan kantor.
Sahabat saya yang lain juga mau resign. Sebut saja Mas G. Kalo yang ini, saya belum denger dari orangnya langsung. Tapi, santer berita beredar, sahabat saya ini mau pindah ke sebuah perusahaan besar, (sebut saja kantor X) yang sering dapat award level internasional, dan nuansa kerjanya Amrik banget lah. Saya tahu persis, karena dulu, saya pernah mengais rupiah di sana. Bahkan, ketika saya udah berkutat di duniasosial & dakwah, sempat beberapa kali sayadiiming2i oleh Big Boss kantor X, “Ngapain kamu kerja di yayasan gitu? Berapa sih, gajinya? Balik lagi aja ke sini.”
To be honest, saya sempat goyah.
Bayang-bayang rupiah.
Kesempatan traveling dan kesenangan dunia yang membuncah.
Dan, it’s definitely kerjaan yang passion saya banget… nget….
Tapi, kemudian saya coba berpikir lagi. Saya tidak mungkin dapat semuanya. Mungkin, kalo kerja di X, saya dapat kesempatan duniawi yang terbentang luas. Tawaran untuk ngebolang ke luar negeri… Bertemu orang2 top level dunia…. Bahkan beasiswa dan short course yang jujur, selalu bikin saya ngiler to the max.
Gaji?
Sudah tentu, secara nominal, gajinya amat-sangat-menggiurkan. Jauuuuh kalau dibandingkan dengan kerjaan saya sekarang.
Hei. Tunggu dulu. Kita belum bahas gaji secara intrinsik. Rupiah yang tertera di buku rekening memang amat besar. Dan itu harus dibalas dengan: pulang malam SETIAP HARI, jarang BERTEMU dengan anak, NGGAK BISA datang ketika anak ada acara di sekolah, BERGAUL dengan kalangan yang super-hedonis, dan DUNIA, DUNIA, DUNIA itu saja yang bercokol di batok kepala.
Inikah yang saya cari???
Tidak.
Dengan sekuat tenaga, saya berupaya keras untuk tidak memberhala pada dunia. Manusiawi bila saya ingin diganjar dengan gelimang rupiah dan segala pernik-pernik duniawi lainnya. Tapi, hidup memang menawarkan pilihan. Dan, saya memilih sebuah pekerjaan yang memungkinkan saya untuk tetap bisa berinteraksi dengan keluarga.
Sahabat saya yang lain juga mau resign. Sebut saja Mas G. Kalo yang ini, saya belum denger dari orangnya langsung. Tapi, santer berita beredar, sahabat saya ini mau pindah ke sebuah perusahaan besar, (sebut saja kantor X) yang sering dapat award level internasional, dan nuansa kerjanya Amrik banget lah. Saya tahu persis, karena dulu, saya pernah mengais rupiah di sana. Bahkan, ketika saya udah berkutat di duniasosial & dakwah, sempat beberapa kali sayadiiming2i oleh Big Boss kantor X, “Ngapain kamu kerja di yayasan gitu? Berapa sih, gajinya? Balik lagi aja ke sini.”
To be honest, saya sempat goyah.
Bayang-bayang rupiah.
Kesempatan traveling dan kesenangan dunia yang membuncah.
Dan, it’s definitely kerjaan yang passion saya banget… nget….
Tapi, kemudian saya coba berpikir lagi. Saya tidak mungkin dapat semuanya. Mungkin, kalo kerja di X, saya dapat kesempatan duniawi yang terbentang luas. Tawaran untuk ngebolang ke luar negeri… Bertemu orang2 top level dunia…. Bahkan beasiswa dan short course yang jujur, selalu bikin saya ngiler to the max.
Gaji?
Sudah tentu, secara nominal, gajinya amat-sangat-menggiurkan. Jauuuuh kalau dibandingkan dengan kerjaan saya sekarang.
Hei. Tunggu dulu. Kita belum bahas gaji secara intrinsik. Rupiah yang tertera di buku rekening memang amat besar. Dan itu harus dibalas dengan: pulang malam SETIAP HARI, jarang BERTEMU dengan anak, NGGAK BISA datang ketika anak ada acara di sekolah, BERGAUL dengan kalangan yang super-hedonis, dan DUNIA, DUNIA, DUNIA itu saja yang bercokol di batok kepala.
Inikah yang saya cari???
Tidak.
Dengan sekuat tenaga, saya berupaya keras untuk tidak memberhala pada dunia. Manusiawi bila saya ingin diganjar dengan gelimang rupiah dan segala pernik-pernik duniawi lainnya. Tapi, hidup memang menawarkan pilihan. Dan, saya memilih sebuah pekerjaan yang memungkinkan saya untuk tetap bisa berinteraksi dengan keluarga.
Tulisan pendek yang isinya "gue" banget karena pernah berada di titik yang sama. Pada akhirnya kita harus membuat pilihan. Can't have it all, agree. Di sisi lain, tidak semua orang bisa melakukan yang dia mau karena terbentur kewajiban-kewajiban. Berbahagia dan bersyukurlah yang dapat melakukan sesuai keinginan.
BalasHapus